“Di
ujung tapal batas”… Seruan nyaring dan merdu milikmu masih terngiang di
telingaku. Serasa seperti baru kemarin kau pergi meninggalkanku, ketika
ku ingin memberi bingkisan sederhana beberapa lembar rasaku dan
sepenggal hatiku untukmu.
Dan
serentak saja, telah ku petik jasmine ungu di lading, jasmine yang
biasa ku kenakan pada telingamu, ketika Bulan Nisan dalam Kalender
Yahudi tiba. Ya… Aku masih seperti dulu, memetik jasmine ungu walau
sekarang tak ku kenakan di sebelah kanan telingamu.
Hampir
2500 malam aku terbelenggu kesepian, berkawan selimut kesunyian
dihantar nyanyian jangkrik… Mencoba mengais sisa-sisa harapan akankah
esok harinya aku tiba di tapal batas itu… menjemputmu tuk mengajakmu
merasakan lembutnya angin yang berhembus di sela-sela jari kita…
Pagi
ini pun masih membiru dengan jejak-jejak solitaire yang tak berhenti
sampai di sini, atau di sana. Meski semua terasa tawar tanpamu, tapi aku
masih tetap melangkah, menempuh beberapa lembar kenangan tentangmu…
Hmm… Kenangan akan partitur wajahmu dalam pentas drama romantisme kita
yang tak berhenti beraksi walau kau tak di sini lagi…
Aku
masih menantimu di depan pinta itu, berharap kau yang berdiri di sana
sambil melemparkan sekilas senyum manismu tuk meyakinkan aku bahwa esok
nanti semua kan berubah dan bukannya sama-sebaliknya…
Harus
ku akui…Sepertinya segalanya takkan baik-baik saja, jika kau tak
seharusnya di sana, di ujung tapal batas cakrawala merah dengan balutan
sabuk Andromeda biru…Dan aku benci jika harus menuliskan ini, padamu,
karena faktanya kau tak lagi di sini…
Pernah
ku berpikir, apakah aku seharusnya pergi ke sana tuk menemanimu
menghitung musim berganti, dan menuliskan kisah baru tentang kita
melebihi “Epik Gilgamek”? Tapi jika kita bertemu di sana, apakah kau
masih mengenalku Rylyn? Apakah kau masih ingat namaku bila ku ajak kau
menatap indahnya aurora borealis di penghujung langit barat, dan bulan
kembar esok malamnya?
Dan
apakah aku pun bisa mengenalmu ketika aku tiba di sana? Bisakah ku
tunjukkan semua itu padamu lagi? Dan jika kita tak saling mengenal lagi…
Lalu… Kan kemanakah rasa ini sesudahnya?
Valentine
ke 30 hingga akhir waktu kan terus ku hitung demi kamu yang pernah
hadir mengisi beberapa lembar portrait di sini, di dalam hati ini dengan
keindahanmu yang bagai goresan Da Vinci…
Rylyn…
Nama itu terlalu indah bagiku…seindah alunan instrumental bunyi enam
senar berdawai melodi strings yang dipetik gitaris favoritmu… Alunan
lagu yang sering menghantarmu menari di depanku saat kita bersama tuk
pertama kalinya… menjalani indahnya hidup apa adanya…
Semuanya
masih terekam baik…bersama beberapa lembar kenangan lain yang tak mau
berhenti pula mengetuk ingatan ini tuk diputar kembali… Ruangan ini
begitu sedih dan kosong karena tak ada kau yang sering menggangguku
dengan duduk di atas meja tempat ku menulis sambil mempermainkan jari
pada rambut acak tak beraturan milikku…
Dan
ketika kau pergi…aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Semua terasa
membosankan Rylyn… Bahkan perapian itu enggan ku nyalakan. Biarlah
dingin ini menyelimutiku, agar kau pun tahu kaulah yang seharusnya
menghangatkan aku dan bukannya api yang bernyala di perapian itu…
Malam
ini ku duduk di undakan tua… bersama beberapa tangkai jasmine ungu yang
ku petik di lading kemarin sore… Ku menunggu dirimu tuk datang agar ku
sematkan padamu lagi seperti dahulu… Mala mini ku ingin mendulang rasa
bersamamu, sembari berharap kita kan menyuling asa bersama walau hanya
tuk meneguhkan sebongkah keyakinan ini tuk berjumpa denganmu…. Rylyn…
0 komentar:
Posting Komentar