Bisa ku cium aroma rindumu, hei gadis dengan suara empat oktaf itu…
Bisa ku pahami dengan jelas ada romansa di balik tutur sapamu kemarin…
Merdu suaramu masih dibisik nektar lewat tamparan halus yang dibawa angin semalam, saat cuaca berganti dengan anehnya…
Kemarin itu masih sama, hei gadis pencinta malam nan kelam. Dia masih sama, yang mungkin mengajak rasamu tuk berharap rasaku pula sama denganmu, mimpiku sama denganmu, atau apalah namanya….
Malam itu masih serupa, hei gadis dengan tatapan lugu. Dia masih sama, yang mungkin mengajak rasamu tuk tetap bergejolak kala dingin merambat, menggoda inginmu tuk dipeluk dan dikecup atau “disemayamkan” dalam dosa termanis yang diberkati atas nama cinta kita, bila seandainya kita bersama.
Sisi jalan itu masih bersenandung, dibarengi nada-nada sumbang disharmoni yang dilantunkan beberapa insan dalam perjalanan pulang ke peraduan. Kedengarannya seperti nada-nada rumit yang turun-naik setengah tambah satu, seturut ritme filosofi tangga nada…
Aku
masih terjaga, terpaku dalam kebisuan antara apresiasi atas aroma
rindumu, dan rasionalisasi nalarku yang tengah mengintimidasiku dengan
logika dan olimpiade matematika hidupku kelak dan nanti di depan sana…
Langit
masih berbisik padaku tentangmu, kemarin dan hari ini, tak peduli
apakah saat ini Nimbus yang tampan itu kembali hadir ataukah hanya
segumpal awan kelabu yang akhirnya berkontraksi satu sama lain di atas
kepalaku, yang beberapa menit kemudian menghadiahi duniaku dengan rinai
hujan, airmata sang langit.
Kembang
mekar yang kulihat kemarin masih tetap sama dengan hari ini, walau
inangnya mungkin diliputi kecemasan, apakah bisa didapatnya makanan
bagi putera kekasih jiwanya, pagi ini.
Aku
masih berpikir tentangmu ditemani sebatang rokok yang mengganjal
bibirku, dan sensasi rasa secangkir kopi hangat, saat dentingan jarum
jam mengajakku tuk berdansa dengannya dalam mimpi…
Jika
hari ini berlalu, hari berikutnya masih tetap ku hitung walau malamnya
kan tetap sama, di mana ku sapa dirimu lewat frekuensi meski hanya
sekedar ucapan “Hello”, dan disusul sederet kalimat lazim tanpa
basa-basi “What are you doing”…
Jika kau izinkan, ku ingin berbisik padamu…hei gadis berhati biru, sedalam laut yang biru, “Permisi..Aku mencintai jiwamu.”
Tapi…maaf, aku belum bisa…
Aku masih punya 1000 mimpi yang memaksaku
tuk menggapainya, walau tahun Kabisat berganti rupa 77 x 7 kali
lamanya…Senyum itu masih jauh di depan sana yang entah berapa kali dia
mengajak angin musson dan pasat bertengkar tentang siapa yang akan
menemaniku melangkah nanti…Bisa ku hitung pula telah berapa kali ku
korbankan rasa cintaku karena semua itu, termasuk kamu, ibarat
perjanjian darah antara jiwaku dengan goresan pensil bercorak Sephia
sketsa Sang Takdir dan Nasib…
Malam ini aku masih di sini, masih menampar kesedihanku tuk membuatnya tegar. Aku masih menasihati air mata agar tak bersikap cengeng jika saat itu belum tiba, masih absurd…
Jika
ku boleh meminta padamu…hei gadis pemilik rumah dengan teras marmer
merah… Jangan mencintaiku secepat ini. Aku masih punya kelemahan yang
takkan bisa memaksa masa depan kita menyerah tanpa syarat!
Jangan dulu menyiksa jiwaku sekejam yang kau mau dengan cintamu…
yang membuat nalarku terpaksa mengikuti jejak sophia ephiphenomenalisme yang kesohor itu.
Jangan menyayangiku dulu dengan cintamu, karena aku belum bisa menaklukkan 1000 mimpi di depan sana yang tak bisa ku lakukan dengan hanya menggunakan sederet litani romantisme belaka…
Jika
semua telah ku gapai…hei gadis dengan segudang inspirasi, kan ku
persembahkan padamu walau akhirnya semua itu hanya sebagai pengalas
gaun pengantinmu dengan dia yang lain, agar tak dikotori romansa sophia debu jalanan…
Flamboyan itu masih tetap
sama seperti kemarin…Dia masih terus menasihatiku tuk mencintaimu
sebagai sahabat dulu, dan belum sebagai pendamping hidupku…Anemon liar
itu masih mengajakku tuk berbaring dengannya sebagai sahabat pula di
kala malam merambat. Gundukan marchantia itu masih mendekapku
pada hatinya sambil berkata, “Akan ku bisik ‘dogma’ milikmu pada angin
tuk dibawa pada gadis pencinta es krim itu agar dipahaminya.”
Niatku masih tetap sama, walau aku tahu kesedihan mungkin akan membunuhmu, sama seperti dia juga membunuhku…
Ku mohon, janganlah berharap padaku…karena harapanmu belum bisa ku jawab dengan sebuah cincin di jari manismu, sekecup ciuman di depan hamba Tuhan, dan restu orang tua kita tuk hidup bersama di dunia ini…
Salamku sahabat….
0 komentar:
Posting Komentar