Kisah Seperempat Abad
Written By Unknown on Kamis, 24 Juli 2014 | 09.33
Seperti musim dicintai masa, dan hujan yang dicintai awan, begitu pula jiwa yang dicintai dan mencintai raga....Sepenggal ide, yang terbesit begitu saja ketika menyulut sebatang rokok; yang kemudian diiringi semburan asap 'dupa' beraroma nikotin ke layar segi empat yang terpampang di depan wajahku. Ada ikatan emosional memang, antara nikotin dan hentakan jari ini menghantam papan keyboard; menuliskan kisah karangan imajinasi.
Sejenak ada aliran magnetik yang mengajak nalar kembali ke tahun-tahun silam, ketika bunda dengan tekun menuntun jari mengotori kertas putih dengan goresan tanpa makna, goresan yang kemudian berarti seperempat abad kemudian. Ya... goresan yang berarti, ketika nalar mengerti apa arti sebuah noktah bersayap.
Seperempat abad kemudian, jejak kakinya, telah melalui panjangnya siang terik, dan dinginnya malam kelam. Seperempat abad kemudian, ketika dia mengerti bahwa bibir selalu mencintai kalimat, meski tanpa suara.
Seperempat abad kemudian, di mana dia menyadari, bahwa rasa dan gejolak tak saling membanting pintu tanpa alasan.
Ya... Seperempat abad kemudian....
Seperempat abad kemudian, ia melangkah di antara jalan benar dan tanpa arah.
Seperempat abad kemudian, ia tidur di antara mimpinya yang seperti realitas dan realitas yang seperti mimpinya.
Seperempat abad kemudian, ia menatap kepergian siang dan kembalinya malam.
Ya...Seperempat abad kemudian....
Seperempat abad kemudian, ia bertanya di antara jawaban dan pernyataan.
Seperempat abad kemudian, ia bersua takdir, nasib dan garis tangan.
Seperempat abad kemudian, ia meniup angin, dan mengairi air, membasahi basah, dan mengeringkan kerontang.
Ya... Seperempat abad kemudian...
Hari ini ia berdiri seperti kemarin, seperti kemarin lagi, dan kemarin...kemarin...sebelumnya. Ia menatap sebuah 'kunci perak' pada tangannya, sembari bergumam, semoga 'kamar kecilnya' tetap mencintainya tanpa membanting pintu. Ia tersenyum pada kesunyian, sembari berdansa diiringi denting irama. Di balik logikanya ia berbisik...
Tak ada hari ini...
Tak ada esok hari...
Tak ada hari kemarin
Yang ada hanya 'Sekarang Ini'...
Di balik temaram, ada noktah kusam, yang dentingnya seringkali suram. Hampir hilang memang, ditelan dentang, riuhnya pekik jiwa riang. Tergolek lemah, bak remah, menunggu jamah hanya dari insan yang cukup gerah dengan resah yang tak tak habis berdesah....Di sini... di antara kaki dian, ada jiwa yang hening nian, mengharap kecupan hangat-Mu di dahi yang berpeluh ini.
Van De Jeremy
0 komentar:
Posting Komentar