Home »
Irama
,
jiwa
,
nara
,
prosa
,
puisi
,
pujangga
,
raga
,
refleksi
,
sang
,
sastra
,
soneta
» Denting Jawab Jiwa Sang Nara
Denting Jawab Jiwa Sang Nara
Written By Unknown on Minggu, 07 Februari 2016 | 08.47
Ada lantun jawab yang bergaung sore ini, ketika bersua Sang Nara kembali. Cukup istimewa, harus ku akui. Celotehnya diungkap saat pijar Venus terlalu terang, memposisikan dirinya hampir sejajar Surya yang mulai terbenam... Sebut saja demikian, dalam bahasa astrologi yang meskipun kurang aku pahami.
Jawab itu bergema. Bagai oase yang kini berkelimpahan... Gaungnya mengikis material anorganik yang menempel di jiwa, benak dan nalar...mendaur, melebur tanpa asumsi yang tak bisa dianggap sebuah basa-basi.
"Jangan katakan padaku kalau akhirnya belum kau mengerti yang ku katakan kemarin," ujar Sang Nara membuka cakap.
Ya... Seperti biasa, diletakkannya dagangan kecil yang menggantung di lehernya tepat di depanku seperti hari kemarin. Seperti biasa pula, Sang Nara kembali bernostalgia bersama deru dan debu jalanan kota di atas khatulistiwa...
Aku hanya diam. Mengaduk secangkir kopi panas, yang baru disuguhkan. Tak ada cakap. Hening. Terlalu hening, hingga ramai pun tak berbisik.
"Bagaimana jika realita yang dialami tak sejalan?" timpalku, beberapa menit kemudian.
"Apa kau percaya?"
"Apakah ada perbedaan antara percaya dan yakin?" tanyaku kembali
"Perlukah setiap hal dimengerti?" sambungnya.
"Apakah pengertian dan pemahaman sering disalahartikan?" lanjutku.
"Benarkah pertanyaan selalu membutuhkan jawaban?" kelitnya.
"Apakah waktu dan saat sedang mempermainkan kita?" kunciku.
Sang Nara kemudian tersenyum. Dikecapnya kopi panas yang kini mulai hangat. Sembari memposisikan duduknya ia pun berkisah.
"Aku harus menghadapi kenyataan, seperti jiwa raga menghadapi jiwa. Aku harus menikmati peristiwa, seperti rumput menyambut embun pagi. Aku harus merangkul sedih, seperti jalan yang harus diinjak. Aku harus meraih bahagia, seperti cahaya yang menerangi malam.
Hidup adalah kisah, yang harus dihadapi dengan ketulusan. Kisah itu ditulis dengan hati dan budi. Kisah itu harus diyakini sebagai anugerah yang tulus; kisah itu terberi di antara kesetiaan, kejujuran. Kisah itu tersedia di atas lamping pengorbanan yang utuh. Hidup adalah kisah tanpa ruang bagi kepalsuan. Sebab siang takkan pernah menipu malam pun pagi yang takkan pernah mendustai siang."
Berat... Terlalu berat wajah ini untuk ku angkat. Hatiku bergejolak. Gelisah ini menjadi haru yang mestinya tak harus dipertontonkan di depan wajah lusuh Sang Nara. Ya... haru ini kian membiru... Hingga semuanya terasa asing bagiku. Aku terasing di tengah bumi yang bernafas. Aku tersisih di tengah petang dan malam yang memadu kasih.
Perlahan, Sang Nara tersenyum padaku. Diambilnya beberapa permen dari kotak dagangan asongannnya dan disodorkan padaku. Ku ambil permen tersebut lalu ku cecap.
"Hari yang indah. Mari kita akhiri hari ini dengan memandang langit tanpa kata-kata," ujarnya.
Di sana... kami duduk... Menghadap laut teduh yang bertabur pijar sauh di kejauhan. Memandang langit tanpa kata-kata, membungkam ramai dengan keheningan, menikmati sunyi dalam kebisuan, tanpa prasangka, tanpa kepalsuan... Hingga akhirnya berpisah dikelam malam tanpa kecewa...
Terima Kasih... Untuk denting bait jiwa, di kota di atas khatulistiwa...
#sibonsai
0 komentar:
Posting Komentar