Home » , , , , , » Dilema Spekulta dan Praktika

Dilema Spekulta dan Praktika

Written By Unknown on Selasa, 05 November 2013 | 07.46

 
Malam kian merambat, meski masih berkawan deru ring road  yang semakin kesohor dengan  tembang  dinamis, situasi baru kota metropolis. Di depanku terbujur kaku beberapa lembar  kertas putih penuh cetakan tinta dengan slogan legitimasi, seperti mirip ‘hak asasi’ saja. Di sebelah kananku terpampang screen segi empat yang berdiri tegak, menatapku dengan sekepal kebingungan yang mungkin saja hanya bisa dipahami dengan bahasa kebisuan. Ahh…sampai di sini, sisi  jalan  masih  penuh kisah yang kian ramai.
Perlahan, ku tatap ukiran agung Sang Pencipta di dalam telapak tangan  kiriku. Ku coba  menyelami seberkas makna, yang menjadikan aku sebagai aku. Bisa ku rasakan pula aliran merah-ku, yang menurut penelitian medis masuk kategori golongan B, mencoba menelisik sebongkah kepastian, yang menjadikan darahku sebagai darahku. Ahh….sampai  di sini, sisi ragaku masih  penuh  kisah yang kian membiru.
Sejenak ku langkahkan kaki  menuju peraduan malam. Ku coba mengintip bayang rembulan, yang dengan nakalnya sering menggodaku untuk mencarinya.  Padahal, sinar sang  bintang masih  terlalu agung kelasnya bila dibandingkan dengan ‘sang  dewi’ malam  itu.   Entah mengapa pula, inginku tak seperti jejaka lainnya, yang  selalu melebur dalam pagoda kesibukkan dan menara keramaian. Entah mengapa pula,  hasratku  lebih condong ke arah ‘sepi’ daripada kilatan  pijar yang gemerlap. Ahh…sampai di  sini, sisi jiwaku masih masih penuh cerita yang kian menggebu.
Ku coba menebar aksara, yang terjalin lewat beberapa undakan filosofi bertingkat, dengan maksud memahami  sepenggal privasiku yang bukan basa-basi. Sering ku coba pula menelusuri jalan  pikiranku, lewat  getar-getar  neuron elektrik  yang selalu saja ‘menggila’ bila nalarku ‘bercinta ‘ dengan kesendirian di  kamar kecil yang dengan nakalnya  pula  selalu  mengajakku  untuk terjaga. Bahkan, tak jarang pula terjadi, ku bangun paradigma berpikir bijak di setiap pojok idealisme, yang  sering   pula  mengajakku untuk  berada  pada level  katastrofa, dilematis atau  bahkan radikalis.
 
Cukup? Entahlah! Aku bahkan  tak ingin sesumbar lagi mengumbar. Bukannya mau bermental Nihilis, tapi setidaknya hingga saat ini  ku coba untuk mengalami ‘ke-ada-an’ apa adanya dulu  meski  ada semacam ‘kecemasan filosofis’ tentang eksistensi  dari  ‘ke-tiada-an’. Sebenarnya, sudah sering nalarku terlibat  dalam pertempuran sengit antara kepastian dan kebenaran. Sudah beberapa kali pula, nalarku dihajar  habis-habisan oleh  ‘senior’-ku yang sering  disapa kebijaksanaan itu. Mungkin masih terlalu pagi, bila sebagian  jiwaku menisbatkan, bahwa kebijaksanaan  adalah  ‘kemurnian nalar’. Mungkin juga terlalu dini, bila  sebagian jiwaku  lagi  menahbiskan bahwa kebenaran adalah ‘kebijaksaan yang pasti’.
Terlalu  runyam? Ya!  Tidak seperti biasanya, sebelum umurku menginjakkan kaki di penghujung 20-an tahun. Tidak serumit yang  dulu, ketika sejumlah denting labirin tentang  jejak-jejak makna  hidup mulia dalam goresan Sang Pujangga kesohor, dari kota yang ditumbuhi pohon Badam,  Kahlil  Gibran,  bisa ku resapi hingga  membuatku  merinding. Tidak! Semuanya telah bergeser. Begitu jelas pergeserannya, praktis. Realitas yang ku pandang di balik lensa bersayap milikku terasa  seperti jalinan  kerja sama regional, unilateral, dan bahkan  interkontinental. Praksisnya tinggal menunggu sosialisasi persepsi guna menciptakan realitas baru yang niscayanya tak  bakal terdegradasi.
Apakah itu harus? Ya! keharusan  yang menjadi syarat terbentuknya skema prosedural multi fungsi, dengan iming-iming, semua demi mengejawantahkan esensi dalam  bereksistensi. Sederhananya, mengalami yang  layaknya dialami manusia, termasuk, aku, anda,  kalian, kita  dan mereka. Ahh…lagi-lagi nalarku  berubah  rupa, dari  deretan aksara  spekulta  menjadi ulasan praktika.
 
Mungkin saja, kebiasaanku itu akan terus  bergumul hingga menemukan  peristirahatannya di  bawah mega. Atau, mungkin  saja, ia akan berhenti  ketika  aktivitas berpikir, sampai pada  titik  kulminatinya,  yakni menjadi yang dipikirkan. Bila demikian jadinya, aku masih  tetap setia untuk  melangkah di belantara dunia, sembari  menyulam selimut bagi jiwa, dalam noktah bagi  Sang Pencipta.
 

0 komentar:

Posting Komentar