Malam kian merambat, meski masih berkawan
deru ring road yang semakin kesohor dengan tembang dinamis, situasi
baru kota metropolis. Di depanku terbujur kaku beberapa lembar kertas
putih penuh cetakan tinta dengan slogan legitimasi, seperti mirip ‘hak
asasi’ saja. Di sebelah kananku terpampang screen segi empat yang
berdiri tegak, menatapku dengan sekepal kebingungan yang mungkin saja
hanya bisa dipahami dengan bahasa kebisuan. Ahh…sampai di sini, sisi
jalan masih penuh kisah yang kian ramai.
Perlahan, ku tatap ukiran agung Sang
Pencipta di dalam telapak tangan kiriku. Ku coba menyelami seberkas
makna, yang menjadikan aku sebagai aku. Bisa ku rasakan pula aliran
merah-ku, yang menurut penelitian medis masuk kategori golongan B,
mencoba menelisik sebongkah kepastian, yang menjadikan darahku sebagai
darahku. Ahh….sampai di sini, sisi ragaku masih penuh kisah yang kian
membiru.
Sejenak ku langkahkan kaki menuju
peraduan malam. Ku coba mengintip bayang rembulan, yang dengan nakalnya
sering menggodaku untuk mencarinya. Padahal, sinar sang bintang masih
terlalu agung kelasnya bila dibandingkan dengan ‘sang dewi’ malam
itu. Entah mengapa pula, inginku tak seperti jejaka lainnya, yang
selalu melebur dalam pagoda kesibukkan dan menara keramaian. Entah
mengapa pula, hasratku lebih condong ke arah ‘sepi’ daripada kilatan
pijar yang gemerlap. Ahh…sampai di sini, sisi jiwaku masih masih penuh
cerita yang kian menggebu.
Ku coba menebar aksara, yang terjalin
lewat beberapa undakan filosofi bertingkat, dengan maksud memahami
sepenggal privasiku yang bukan basa-basi. Sering ku coba pula menelusuri
jalan pikiranku, lewat getar-getar neuron elektrik yang selalu saja
‘menggila’ bila nalarku ‘bercinta ‘ dengan kesendirian di kamar kecil
yang dengan nakalnya pula selalu mengajakku untuk terjaga. Bahkan,
tak jarang pula terjadi, ku bangun paradigma berpikir bijak di setiap
pojok idealisme, yang sering pula mengajakku untuk berada pada
level katastrofa, dilematis atau bahkan radikalis.
Cukup? Entahlah! Aku bahkan tak ingin
sesumbar lagi mengumbar. Bukannya mau bermental Nihilis, tapi setidaknya
hingga saat ini ku coba untuk mengalami ‘ke-ada-an’ apa adanya dulu
meski ada semacam ‘kecemasan filosofis’ tentang eksistensi dari
‘ke-tiada-an’. Sebenarnya, sudah sering nalarku terlibat dalam
pertempuran sengit antara kepastian dan kebenaran. Sudah beberapa kali
pula, nalarku dihajar habis-habisan oleh ‘senior’-ku yang sering
disapa kebijaksanaan itu. Mungkin masih terlalu pagi, bila sebagian
jiwaku menisbatkan, bahwa kebijaksanaan adalah ‘kemurnian nalar’.
Mungkin juga terlalu dini, bila sebagian jiwaku lagi menahbiskan
bahwa kebenaran adalah ‘kebijaksaan yang pasti’.
Terlalu runyam? Ya! Tidak seperti
biasanya, sebelum umurku menginjakkan kaki di penghujung 20-an tahun.
Tidak serumit yang dulu, ketika sejumlah denting labirin tentang
jejak-jejak makna hidup mulia dalam goresan Sang Pujangga kesohor, dari
kota yang ditumbuhi pohon Badam, Kahlil Gibran, bisa ku resapi
hingga membuatku merinding. Tidak! Semuanya telah bergeser. Begitu
jelas pergeserannya, praktis. Realitas yang ku pandang di balik lensa
bersayap milikku terasa seperti jalinan kerja sama regional,
unilateral, dan bahkan interkontinental. Praksisnya tinggal menunggu
sosialisasi persepsi guna menciptakan realitas baru yang niscayanya tak
bakal terdegradasi.
Apakah itu harus? Ya! keharusan yang
menjadi syarat terbentuknya skema prosedural multi fungsi, dengan
iming-iming, semua demi mengejawantahkan esensi dalam bereksistensi.
Sederhananya, mengalami yang layaknya dialami manusia, termasuk, aku,
anda, kalian, kita dan mereka. Ahh…lagi-lagi nalarku berubah rupa,
dari deretan aksara spekulta menjadi ulasan praktika.
Mungkin saja, kebiasaanku itu akan terus
bergumul hingga menemukan peristirahatannya di bawah mega. Atau,
mungkin saja, ia akan berhenti ketika aktivitas berpikir, sampai
pada titik kulminatinya, yakni menjadi yang dipikirkan. Bila demikian
jadinya, aku masih tetap setia untuk melangkah di belantara dunia,
sembari menyulam selimut bagi jiwa, dalam noktah bagi Sang Pencipta.
0 komentar:
Posting Komentar