Entah mengapa ada segumpal rasa tak enak,
menggerayangi jiwa ini. Padahal, baru saja kulihat sang surya
menamparku dngn cahayanya, membisik cinta ilahi bagi jiwaku yg kian
tertatih. Anehnya lagi, logika ini seperti selaras hati. Menghujam
mataku dngn kekosongan agar dingin dan membeku.
Aku bahkan tak tahu rasa awal sebelum
sedih melonjak, menyentuh nirwana khayal dan mencampakkan kebiasaan
‘biasa-biasa saja’. Begitu cepat hingga aku sendiri tak sadar kalau
hatiku sedang menjerit, padahal tengah ku dapati diriku sedang tertawa
terbahak-bahak, melihat ‘si bruno’ jaguar kecilku dibodohi seutas
benang.
15 menit lebih 2 detik, aku seperti si
penyendiri, yang terlalu doyan melahap kebisuan, padahal logikaku tengah
ditaburi ribuan aksara dalam bahasa fakta atau pn kazat mata. 15 menit
lebih 2 detik, aku seperti si pengelana yang doyan melahap petualangan
padahal sisi internalku mulai terlepas onderdilnya satu per satu. Aku
seperti jejaka tanpa arah yang meski punya kompas namun tetap saja
mengalami disorientasi.
Ahh…mungkin ini sindrom eksklusifisme ego
yang telah sekian lama selalu ku balut dengan konsep ‘alter’ ditambah
polesan altruis yang akhirnya kini mencampakkanku di tengah megahnya
‘the ruins’. Parahnya lagi, denyut darah yaƱg mengalir seiring lara yang
bergelora, namun tak seirama detak jantung, yang kira-kira, 1 detik=2
kali detak.
Inginku bahkan terlalu manis untuk ku
kuburkan. Pasalnya, dualisme semakin menghimpit keyakinanku. Padahal
Sang Pewarta Kabar Baik telah menyembuhkan aku dengan bilur-bilur-Nya.
Aku seperti pengelana yang ters mengepakkan sayap dengan bantuan kompas,
namun tak bisa ku pungkiri, terlalu manis langkahku menerobos pijar
disorientasi. Aku mungkin bisa berdalih, lewat fatwa dan warta yang ku
senandungkan di balik ungkapan dan aksara bahasa, akan tetapi
dalektikanya selalu tak pernah menyisakan ruang bagi sedihku.
Di sisi lain, kehendakku setara Inginku.
Mungkin juga selaras mauku. Bahkan jikalau boleh, biarlah jadi perluku,
karena ku butuh. Namun, meski niat tuk mematri, toh pahatannya tak
pernah berbentuk, semrawut, bahkan…..Ahhh…..
Posibiliti yang Berhamburan
Sementara itu, nalarku terus memastikan
kemungkinan, seperti, mungkin bila ku sertakan bayangmu saja, tanpa
perlu mengurai laramu. Apalagi bilurmu kian menyayat ketika dengarmu
pada bisikku…Ada baiknya…Cukuplah kau tahu simphoni rindu. Tanpa perlu
meniti misteri *Larasati*.
Atau, mungkin juga saatnya bagiku tuk
menertawai dunia, menyerang balik si lara karena prahara, juga phantasma
‘hedonisia’ yg membuatku terlena.
Dan juga, mungkin ragaku bukan yang
terbaik. Mungkin juga jiwaku tidaklah menarik. Tapi, sejujurnya ku ingin
menjadi orang yang paling berkesan bagi jiwa dan ragamu…..Bahh….Mungkin
juga ada harga yang harus dibayar….???? Atau setidaknya ada diskon
barangkali????
Entahlah…sepertinya perlu mengatup bibir, atau bahkan membisu dalam
kebisuan, bila faktanya, anggapan selalu membuahkan penilaian, dan
kritik pun demikian, selalu ‘menyakiti’ meski berlapis madu pujian,
seakan mekanisme dan prosedurnya setara goresan takdir dan torehan
nasib.
Mungkin, ragaku perlu diam, dan jiwaku perlu hening. Sebab
katanya, ujung penantian juga masih misteri, yang menurut pengakuan
sebagian besar pengelana, misterinya baru terpecahkan bila….SAAT JUGA
ADALAH WAKTU.
0 komentar:
Posting Komentar