Home » , , , , , , » Misteri Goresan Usang

Misteri Goresan Usang

Written By Unknown on Selasa, 05 November 2013 | 07.42

 
Entah mengapa ada segumpal rasa tak enak, menggerayangi jiwa ini. Padahal, baru saja kulihat sang surya menamparku dngn cahayanya, membisik cinta ilahi bagi jiwaku yg kian tertatih. Anehnya lagi, logika ini seperti selaras hati. Menghujam mataku dngn kekosongan agar dingin dan membeku.
Aku bahkan tak tahu rasa awal sebelum sedih melonjak, menyentuh nirwana khayal dan mencampakkan kebiasaan ‘biasa-biasa saja’. Begitu cepat hingga aku sendiri tak sadar kalau hatiku sedang menjerit, padahal tengah ku dapati diriku sedang tertawa terbahak-bahak, melihat ‘si bruno’ jaguar kecilku dibodohi seutas benang.
15 menit lebih 2 detik, aku seperti si penyendiri, yang terlalu doyan melahap kebisuan, padahal logikaku tengah ditaburi ribuan aksara dalam bahasa fakta atau pn kazat mata. 15 menit lebih 2 detik, aku seperti si pengelana yang doyan melahap petualangan padahal sisi internalku mulai terlepas onderdilnya satu per satu. Aku seperti jejaka tanpa arah yang meski punya kompas namun tetap saja mengalami disorientasi.
Ahh…mungkin ini sindrom eksklusifisme ego yang telah sekian lama selalu ku balut dengan konsep ‘alter’ ditambah polesan altruis yang akhirnya kini mencampakkanku di tengah megahnya ‘the ruins’. Parahnya lagi, denyut darah yaƱg mengalir seiring lara yang bergelora, namun tak seirama detak jantung, yang kira-kira, 1 detik=2 kali detak.
Inginku bahkan terlalu manis untuk ku kuburkan. Pasalnya, dualisme semakin menghimpit keyakinanku. Padahal Sang Pewarta Kabar Baik telah menyembuhkan aku dengan bilur-bilur-Nya. Aku seperti pengelana yang ters mengepakkan sayap dengan bantuan kompas, namun tak bisa ku pungkiri, terlalu manis langkahku menerobos pijar disorientasi. Aku mungkin bisa berdalih, lewat fatwa dan warta yang ku senandungkan di balik ungkapan dan aksara bahasa, akan tetapi dalektikanya selalu tak pernah menyisakan ruang bagi sedihku.
Di sisi lain, kehendakku setara Inginku. Mungkin juga selaras mauku. Bahkan jikalau boleh, biarlah jadi perluku, karena ku butuh. Namun, meski niat tuk mematri, toh pahatannya tak pernah berbentuk, semrawut, bahkan…..Ahhh…..
Posibiliti yang Berhamburan
Sementara itu, nalarku terus memastikan kemungkinan, seperti, mungkin bila ku sertakan bayangmu saja, tanpa perlu mengurai laramu. Apalagi bilurmu kian menyayat ketika dengarmu pada bisikku…Ada baiknya…Cukuplah kau tahu simphoni rindu. Tanpa perlu meniti misteri *Larasati*.
Atau, mungkin juga saatnya bagiku tuk menertawai dunia, menyerang balik si lara karena prahara, juga phantasma ‘hedonisia’ yg membuatku terlena.
Dan juga, mungkin ragaku bukan yang terbaik. Mungkin juga jiwaku tidaklah menarik. Tapi, sejujurnya ku ingin menjadi orang yang paling berkesan bagi jiwa dan ragamu…..Bahh….Mungkin juga ada harga yang harus dibayar….???? Atau setidaknya ada diskon barangkali????
Entahlah…sepertinya perlu mengatup bibir, atau bahkan membisu dalam kebisuan, bila faktanya, anggapan selalu membuahkan penilaian, dan kritik pun demikian, selalu ‘menyakiti’ meski berlapis madu pujian, seakan mekanisme dan prosedurnya setara goresan takdir dan torehan nasib. 
Mungkin, ragaku perlu diam, dan jiwaku perlu hening. Sebab katanya, ujung penantian juga masih misteri, yang menurut pengakuan sebagian besar pengelana, misterinya baru terpecahkan bila….SAAT JUGA ADALAH WAKTU.

0 komentar:

Posting Komentar